JAKARTA - Juni adalah bulan yang hari-harinya penuh kenangan dan catatan penting sejarah bangsa. Hari lahir Pancasila sebagai ideologi negarapun ditetapkan bulan Juni. Hari lahir Bung Karno, presiden pertama Indonesia jatuh pada tanggal 6 Juni 1901.Pun hari lahir Pak Harto, presiden kedua tanggal 8 Juni 1921. Mendahului kedatangan bulan Juni, jagat politik telah dipenuhi dengan berbagai sepak terjang politis para aktor politik memoles diri. Sibuk bercitra ria. Mereka seenaknya membiarkan berbagai kehidmatan jejak sejarah berlalu tanpa bekas; menjadi deru campur debu.
Pancasila, Bung Karno dan Pak Harto adalah “monumen” yang terukir pada batang tubuh bangsa ini. Pancasila adalah mercusuar pemandu utama arah perjalanan perahu besar bernama Indonesia mengarungi samudera luas. Bung Karno dan Pak Harto adalah dua sosok pemimpin bangsa berkelas dan berkualitas tinggi dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia biasa. Kedua tokoh bangsa itu berkualifikasi “strong leader”. Keduanya tampil di dalam badai sejarah, dan berhasil mengatasinya.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
Bung Karno bersama adalah proklamator yang memerdekakan bangsa ini ditengah serba kekurangan di depan ancaman mulut meriam dan sangkur penjajah Belanda, Jepang maupun sekutu (1945). Pak Harto dengan kepemimpinannya yang prima berhasil menyelamatkan bangsa yang kritis dari prahara perpecahan. Berpangkal pada penculikan dan pembunuhan enam orang Jenderal aktif TNI-AD dan seorang perwira menengah (1965). Keduanya, Bung Karno dan Pak Harto mampu mengatasi ancaman kehancuran bangsa di tengah situasi keos itu. Menunjukkan kapasitas “strong leader”. Keduanya pada eranya berhasil memulihkan stabilitas. Membuka jalan lebar untuk persatuan, kesatuan dan pembangunan.
Tingginya tuntutan akan hadirnya karakter “strong leader” pemimpin bangsa yang tumbuh saat ini, menjadi indikasi kerinduan hati seluruh bangsa Indonesia, yang terpapar oleh rangkaian kekecewaan akibat lemahnya kualitas kepemimpinan era reformasi. Kepemimpinan yang justru didapatkan melalui proses demokratisasi, khususnya melalui Pemilu langsung sejak sejak 2004 hingga 2019. Tidak mengherankan manakala hari-hari ini, mencuat dari tengah publik disuarakan oleh multi kelompok dan berbagai latar belakang politik, kalangan civil society dan aktor-aktor politik: Merindu pemimpin berkelas: “strong leader”.
Apa yang terjadi? Justru sesungguhnya tidak ada yang terjadi. Usia reformasi yang memasuki tahun ke 24, - usia merefleksi postur lelaki muda, cerdas dan tegas - , namun nyatanya reformasi itu terkesan tidak berhasil menawarkan apa-apa. Yang marak, justru politik identitas dan pembelahan masyarakat yang tergergaji fanatisme sempit: kubu-kubuan politik aliran. Sedihnya kesemuanya terjadi ditengah pilihan bersama menempuh jalan berdemokrasi dan berkendara partai politik.
Mayoritas aktor politik memainkan semua kiat dan rekayasa narsistis untuk menarik simpati rakyat penentu akhir di kotak suara setiap Pemilu. Namun kegaduhan pencitraan berbanding terbalik dengan polusi aroma kekecewaan plus kecemasan masyarakat atas kinerja kepemimpinan era reformis berkuasa. Melahirkan pertanyaan tentang “siapakah” atau “seperti apakah” kapasitas dan kapabilitas serta kualitas calon pemimpin tertinggi negeri pada Pemilu 2024?
Berbagai pernyataan dari masyarakat sipil (civil society) terangkat. Peringatan keras dengan tekanan: pilih presiden yang mampu menjiwai dan melaksanakan aspirasi rakyat banyak: mereka yang konsisten melaksanakan janji-janji manis kampanye. Suara nyaring akar rumput begitu mengindikasikan koreksi serius terhadap kurang maksimalnya kepemimpinan di puncak piramida hari ini.
Apa yang salah? Belakangan bermunculan berbagai tingkah pola pemimpin yang menyimpang dari koridor etik berbangsa. Ketika rakyat terpapar raibnya minyak goreng, sekadar contoh kecil dari ratusan contoh buruk lainnya, sejumlah menteri tetap saja melakukan pencitraan; rame-rame bersibuk diri membidik posisi Capres atau Cawapres yang tidak jarang menggunakan fasilitas negara dan kemewahan jabatan.
Disaat presiden membutuhkan topangan kinerja maksimal para pembantunya, visi presiden justru disalip pembantunya mengusung visi tadingan: kampanye Capres dan kesibukan berkoalisi. Sulit untuk tidak mengatakan kewibawaan presiden sebagai simbol negara dilabrak begitu saja. Etik berbangsa dan bernegara kembali mengalami degradasi. Pertanyaannya: mampukah presiden melaksanakan programnya tepat waktu, di ujung batas masa bakti 2024, yang menjadi taruhan dan legasinya kepada bangsa.
Sikon politik yang demikian buruknya ini, bagaikan wabah pandemi berwajah llain yang menjangkiti bangsa ini. Sumber penyakit adalah para elite alias aktor politik yang menduduki posisi strategis, tapi mengemban cara berpolitik tidak menjunjung etika. Tidak menampilkan suatu contoh keteladanan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan beretika.
Kesibukan berpolitik mengejar kekuasaan menjadi tujuan utama. Rangsangan kekuasaan yang dijanjikan Pemilu 2024 sangat tinggi godaannya. Karena pada saat itu pertarungan memperebutkan posisi tertinggi pemimpin negeri tidak punya petahana. Joko Widodo, sejatinya sudah berakhir sesuai dengan tiket konstitusi. Pro kontra keharusan PT (Presidential Threeshold) 20 berlangsung terus. Mewakili gambaran pertarungan antara statusquo dengan kelompok pembaharuan.
Kesibukan berpolitik tanpa etika itu nampaknya jalan terus. Tidak ada sedikitpun terlihat kepedulian terkait adanya dua peristiwa mengenaskan. Terkait derita panjang rakyat yang terhempas ke pinggiran wilayah berlumpu politik, yang mencuat menjadi berita besar:
“Siswa di Samarinda Diusir Guru Gegara Tak Punya HP-Seragam” dan “Begini Nasib Pensiunan Guru Sragen Diminta Kembalikan Gaji Rp160 Juta”. Sesungguhnya ribuan kasus serupa yang mencengkeram kehidupan rakyat kecil sejak lama, namun tidak terdengar atau sengaja tidak mau didengar oleh telinga sang pemimpin: Ibarat kata pepatah, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Jangan salahkan, manakala akhir-akhir ini, terdengar mulai meninggi suara tuntutan rakyat yang merindukan pemimpin berkualifikasi “strong leader”. Mungkin ada manfaatnya mengutip isi WhatsApp yang dikirim teman lama saya setiap dini hari:
“Perubahan tidak akan terjadi jika kita menunggu orang lain atau waktu yang lain. Kitalah yang ditunggu-tunggu. Kita adalah perubahan yang dicari. (Barack Obama).
Jakarta, 8 Juni 2022
ZAINAL BINTANG
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya